Maksud hati melepaskan penat dan beban fikiran, tapi simaklah dahulu cerita ini, cerita sepulang bepergian selama 5 hari :
Setelah beberapa kali ditunda, akhirnya pada hari Rabu, 20 Agustus, kami bertiga (Saya, Justin, dan Opin) berangkat menuju Desa Lembang Bu’ne Malakaji, desa terakhir yang berada di kaki Gunung Lompobattang. Niat untuk mendaki gunung akhirnya kesampaian juga. Biasanya kegiatan seperti ini menjadi semacam pelarian dari rutinitas dan hingar-bingar kota, atau sekedar me-refresh isi kepala yang sudah overload.
Dan ini kronologisnya:
Rabu, 20 Agustus 2008
Pukul 10.00 meninggalkan rumah menuju terminal Cappa’Bungayya Gowa. 10.52 Tiba di terminal, nyari mobil ke Malakaji, setelah dapat, istirahat sebentar sambil ngeteh, nunggu sampe mobilnya penuh.
12.50 Berangkat ke Malakaji.
15… Singgah di Jeneponto (shalat dan makan)
17.10 Tiba di Lembang Bu’ne
17.20 Setelah istirahat beberapa jenak, sambil pake sepatu, periksa carrier, and then…. Jalan!!!
18.00 Tiba di posko SAR, ngelapor sama Tata’ bilang kita-kita mau lintas.
18.31 Tiba di Pos 1, bongkar carrier, pasang tenda, bersih-bersih, shalat, masak, dll.
19.30 Dinner
20.15 Ngopi
22… Curhat-curhatan, sampe ketiduran zzz… zzz… zzz
Kamis, 21 Agustus 2008
06.02 Wake up, gerimis :( jadinya shalat duduk didalam tenda
06.30 Masak
07.10 Breakfast, setelah itu packing (ada banyak penduduk yang melintas, sepertinya mau ke puncak juga)
08.49 Berangkat (target hari ini menuju pos 9)
09.21 Tiba di Pos 2
10.00 Tiba di Pos 3 (istirahat sekitar 20 menit)
10.48 Pos 4
11.20 Pos 5
11.50 Pos 6 (istirahat lagi, bangun bifak buat berteduh, masak air buat ngeteh n nyusu, cuaca kurang bersahabat, hujan, sudah semenjak pos 2 semua pakaian dibadan basah. Justin kedinginan, sampe-sampe buat ngikat tali saja udah ga mampu, Saya dan Opin jadi khawatir)
13.08 Berangkat, meninggalkan pos 6
13.41 Tiba di pos 7 (Badai semakin kencang, sementara daerah ini agak terbuka dan terjal, jadi sedikit ngeri. Disini juga ketemu sama penduduk yang tadi melintas waktu di Pos 1, ternyata mereka membawa anak kecil kira-kira 2 tahun usianya, hmmmh aneh, kasian juga sih sama anak itu, dari tadi nangis terus karena kedinginan)
14.45 Tiba di Pos 9 (Pasang tenda, makan siang)
17… Ngambil air buat masak, dan sekalian berwudhu. Kebetulan ada sinyal, jadi sms anak2 yang di Makassar sekedar memberitahukan keadaan kami sejauh ini baik-baik saja. (Penduduk yang tadi ketemu di pos 7 juga beristirahat di Pos 9, mereka berjumlah 28 orang, ga bawa tenda, hanya berlindung di balik batu, sementara cuaca masih hujan, dan angin masih kencang, dingiiiin. Satu per satu dari mereka mengungsi kedalam tenda kami yang hanya berkapasitas maksimal 5 orang, tapi karena suhu teramat dingin tempat yang paling aman ya didalam tenda. Tidak tahu berapa orang dari mereka yang mengungsi ke tenda ini, karena setelah merasa terjepit dan ga bisa bergerak, lebih baik kami tidur saja. Semenjak magrib, kami ga berbuat apa-apa, bahkan ga sempat makan malam, karena tenda penuh dan kami merasa ga enak kalo menyuruh mereka untuk geser sana geser sini hanya untuk memenuhi hasrat lapar kami. Ah sudahlah, itung-itung berbuat baik bagi orang yang membutuhkan. And then zzz…. Zzz… zzz…)
Jumat 22 Agustus 2008
06.30 Bangun pagi (Hujan belum juga reda, penduduk yang semalam berada di tenda sudah keluar berlindung di balik batu)
07.30 Masak, Sambil nunggu matang, kita ngeteh dulu
08.10 Makan pagi
09.41 Setelah pamit sama penduduk kami meninggalkan pos 9 (target hari ini menuju Lembah Karisma)
10.20 Tiba di Puncak Lompobattang, ngambil gambar (foto-foto maksudnya). Angin dan hujan belum reda semenjak kemarin, malahan hari ini cuaca kelihatan lebih buruk, jadi ga boleh berlama-lama di puncak, secepatnya harus turun untuk menghindari badai. Sempat panik juga karena Justin agak ragu sama jalur turun, tapi untung saja ada tanda berupa pita orange yang menuntun kami hingga ke lembah.
13.57 Tiba di Lembah Karisma, pasang tenda, masak air buat ngeteh…
17.30 Masak…… Makan
20.30 Sleep well. (Ternyata sekitar jam 10an mereka berdua bangun untuk menikmati kue dan ngopi, katanya sudah berusaha membangunkan Saya tapi tetap juga ga bangun :( )
Sabtu 23 Agustus 2008
05.51Wake up, shalat (jam tanganku udah ga bisa nyala, gara-gara lembab dan kemasukan air, selanjutnya hanya pake henpon kalo mo liat waktu)
06.30 Masak air, Sarapan
10.30 Bersih-bersih, cucipiring, packing
11.15 (Setelah nunggu cuaca agak baikan) Berangkat (target hari ini Pos 8 Bawakaraeng)
Di tengah perjalanan (sekitar pos 13 Bawakaraeng) kami menemukan sebuah tas pinggang Eiger dan sebuah bungkusan sarung. Kami agak curiga dengan keberadaan benda tersebut, setelah melihat kebawah, terdapat sepatu dan satu buah daypack berwarna biru. Karena merasa janggal, Justin berteriak memanggil, bermaksud menanyakan apakah ada orang disekitar situ. Kami menjadi lebih kaget ketika samar-samar mendengar ada balasan jawaban dari bawah. Saya juga berteriak ingin memastikan, ternyata benar ada suara dari bawah. Antara takut bercampur penasaran kami memutuskan berhenti untuk turun memastikan keadaan dibawah. Perasaan kami mulai campur aduk, sementara cuaca semakin buruk , lebih buruk lagi dari kemarin, angin dan badai sudah berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Setelah menyimpan carrier, Opin turun lebih dahulu, kemudian disusul oleh Saya, Justin menunggu di atas. Saya kaget mendengar Opin berteriak ketika melihat ada orang yang tergeletak kaku tak bergerak, telungkup dibalik semak-semak. Dari bajunya yang tersibak, terlihat punggungnya yang memucat, menandakan orang tersebut sudah tak bernyawa lagi. Saya menyuruh Opin untuk memeriksanya, tapi dia takut, saya juga lebih takut, jadi kami mengabaikannya dan fokus saja pada suara yang ada dibawah. Kami memanggil-manggil lagi, dan masih tetap ada jawaban, sampai sekitar 20 atau 30-an meter kebawah kami menemukan sumber suara tersebut. Saya yang lebih dahulu sampai dibawah sempat shock ketika menemukan ternyata masih ada dua orang lagi. Yang menjawab teriakan kami tadi adalah seorang perempuan yang tengah terduduk dengan kaki lurus menjulur dan diatas pangkuannya terdapat seorang laki-laki tertelungkup memeluknya yang juga sudah tidak bergerak. Opin yang berada dibelakang Saya tidak kalah shock-nya. Sambil menanyakan asalnya, Saya menarik lengan laki-laki yang menindih perempuan tadi, ternyata badannya sudah kaku dan sudah tidak bernyawa lagi. Sepintas Saya melihat ada darah disekitar hidung dan bibir lelaki itu, membuat Saya berpikir bahwa mungkin saja orang ini terjatuh. Kami berusaha menarik perempuan yang tertindih ini untuk naik ke atas. Perempuan ini sudah tidak bisa berjalan, mungkin karena kakinya yang kram tertindih tubuh lelaki, yang belakangan kami ketahui adalah suaminya. Katanya, mereka sudah 2 hari terperangkap disini. Dalam keadaan panik bercampur takut, Saya berteriak-teriak memanggil Justin untuk turun membantu. Saya dan Opin berusaha sekuat tenaga menarik tubuh perempuan ini ke atas. Kondisi medan yang terjal (dengan kemiringan sekitar 60-70 derajat) ditambah suhu yang sangat dingin, membuat tenaga kami menjadi drop. Perempuan ini hanya bisa kami bawa ke atas hingga sekitar 8 meter dari jalur, berada didekat mayat laki-laki yang pertama kami temukan. Pada saat itu Justin turun membantu mengangkatnya dan memperbaiki posisinya sehingga agak terlindung, berada dibalik semak-semak yang agak tinggi. Saya ke atas membuka head carrier untuk mengambil biskuit, dan sebotol air minum kemudian melemparkannya ke Justin yang berada didekat perempuan tadi. Opin sudah tidak kelihatan, ternyata dia sembunyi didalam lubang karena menggigil kedinginan. Sekarang Saya dan Justin yang khawatir melihat kondisi Opin. Bungkusan sarung dan tas Eiger yang pertama kami temukan, juga Saya lemparkan ke bawah. Ternyata sarung itu berisi Sleeping Bag, dan tasnya berisi handphone. Justin segera menyelimutinya dengan SB dan menyimpan biskuit dan air minum itu didekatnya. Setelah itu Justin naik ke atas, dan kami segera pergi meninggalkan perempuan, dan dua lelaki yang sudah tek bernyawa itu.
Masih dalam keadaan panik dan takut, kami buru-buru mencari tempat berlindung untuk mendirikan tenda dan beristirahat, tapi ternyata masih jauh, masih ada satu jam perjalanan untuk mencapai pos 12, tempat yang relatif aman untuk berlindung dari badai. Kami memutuskan untuk meninggalkan perempuan itu karena juga memikirkan keselamatan kami. Bahaya hypothermia sangat berpeluang menyerang dalam keadaan seperti ini. Cuaca dan kondisi medan tidak memungkinkan untuk melakukan evakuasi, juga karena perempuan tadi sudah tidak dapat berjalan. Jalur yang sangat terbuka, dan angin yang kencang bisa saja menghempaskan kita ke jurang yang berada disebelah kiri kanan, kalau berjalan tidak hati-hati. Ditengah perjalanan Saya sempat drop, meminta untuk beristirahat sebentar. Seluruh badan Saya gemetar, gemetar dingin dan gemetar takut. Saya menengguk air minum segelas untuk menenangkan diri. Sepertinya kali ini Justin dan Opin yang khawatir. Setelah agak baikan, kami melanjutkan perjalanan sampai akhirnya menemukan pos 12. Target hari ini untuk sampai ke pos 8 Bawakaraeng tidak terpenuhi karena kondisi cuaca, kondisi tubuh dan fikiran kami yang kacau balau tidak mengizinkan untuk melanjutkannya.
Tiba di Pos 12, kami langsung mendirikan tenda seadanya untuk segera berlindung dari ganasnya badai. Dalam keadaan gemetar, kami mengganti pakaian yang basah, dan segera masuk ke dalam SB. Opin melumuri tubuhnya dengan minyak kayu putih, ternyata untuk menghilangkan bau mayat yang melengket di tubuh perempuan tadi. Untuk sejenak, kami tidak mampu dan tidak ingin berkata apa-apa karena shock. Baru setelah merasa agak baikan, kami mencoba mereka-reka apa sebenarnya yang terjadi dengan ketiga orang tersebut. Kami sampai di pos 12 kira-kira pukul empat sore.
Setelah sempat tertidur beberapa menit, menjelang malam, sekitar pukul setengah tujuh, samar-samar kami mendengar suara orang mendekat ke tenda kami. Ternyata ada dua orang dari teman mereka yang datang untuk menolong. Dua orang tersebut singgah ke tenda kami untuk menanyakan apakah kami melihat temannya (yang kami temukan tadi). Opin dan Justin segera menceritakan kejadian yang baru kami alami, terlihat mereka sempat shock ketika mengetahui bahwa dua orang temannya sudah meninggal. Mereka buru-buru pamit untuk menuju ke lokasi korban. Tapi berselang sekitar sejam kemudian, mereka berdua kembali karena cuaca buruk tidak mengizinkan untuk melanjutkan perjalanan. Mereka memutuskan untuk nge-camp bersama kami, karena ternyata mereka juga tidak membawa tenda. Kini didalam tenda ada kami berlima, masih dalam keadaan khawatir melihat kondisi cuaca yang tak kunjung baik. Kami saling bertukar cerita tentang siapa tiga orang yang kami temukan tadi, dan ada apa yang terjadi dengan mereka. Berkali-kali angin bertiup kencang seperti ingin menghempaskan tenda kami. Selanjutnya kami beristirahat, setelah menghangatkan badan dengan beberapa gelas kopi. Tengah malam Saya terbangun karena rasa perih di telapak tangan. Setelah Saya ingat-ingat ternyata akibat semak berduri tempat berpegangan ketika mengangkat perempuan tadi ke atas. Saya menanyakan ke Opin dan ternyata dia juga mengalami hal yang sama.
Ketika pagi, ternyata cuaca belum baik, masih seperti kemarin. Kami bersiap-siap, Saya bertiga akan segera turun untuk meminta tambahan bantuan, menghubungi SAR, dan mereka berdua akan langsung menuju ke lokasi korban. Kami masih tetap berharap, semoga perempuan yang masih hidup bisa bertahan melewati malam. Kalau untuk bertahan dari lapar, mungkin biskuit dan air yang kami simpan tadi masih bisa membantu, tapi kalau untuk bertahan dari dingin, kami hanya bisa pasrah pada kuasa Tuhan. Sekitar pukul 9 pagi, mereka berdua berangkat, dan kami pun segera turun. Di pos 10 Bawakaraeng, kami bertemu 4 orang temannya dan menceritakan lagi kejadian kemarin. Mereka juga terlihat shock ketika mengetahui keadaan korban. Antara pos 8 dan 7 kami bertemu dengan BASARNAS sebanyaka 11 orang yang akan melakukan evakuasi. Setelah menceritakan kondisi korban dan lokasinya, kami melanjutkan perjalanan. Sejauh ini kami sudah merasa sedikit lega. Di pos 6 kami bertemu SAR Unhas, di pos 5 kami bertemu dengan PA setempat untuk membantu evakuasi. Di pos 3 kami bertemu dengan Tim Bantuan Medis Calcaneus, yang juga akan membantu. Sekitar pukul 4 sore kami baru tiba di Lembanna, desa terakhir yang berada di kaki Bawakaraeng. Kami singgah di posko SAR untuk menceritakan kondisi di atas, dan selanjutnya pamit untuk pulang. Terlihat banyak wartawan, polisi, dan beberapa orang keluarga korban yang menunggu. Kami singgah lagi menceritakan kondisi kepada keluarga, terlihat sesekali wartawan mencuri-curi gambar untuk keperluan pemberitaan media. Sebelumnya saya menyempatkan menghubungi keluarga dan teman-teman di Makassar untuk mengabarkan kondisi kami, karena pasti mereka khawatir kalau mendengar berita diatas. Karena merasa lelah, tubuh dan pikiran, kami memutuskan untuk meninggalkan Lembanna sore itu juga dan menuju Malino, ke rumah seorang Abang yang kami sudah janjikan untuk singgah sepulang lintas. Setelah menginap semalam di Malino, kami balik ke Makassar.
Berita terakhir yang kami dengar, perempuan itu akhirnya meninggal juga, menyusul kedua temannya. Evakuasi baru selesai dilaksanakan pada hari Kamis, lima hari setelah kami menemukan ketiga korban tersebut. Kondisi medan dan cuacalah yang membuatnya demikian sulit.
Perjalanan melintasi G.Lompobattang dan G.Bawakaraeng menyisakan sebuah rasa bersalah yang saya sendiri tidak tahu bagaimana cara untuk menebusnya. Bekas luka akibat duri dijari dan pergelangan tangan telah mengering, namun perasaan takut bercampur rasa bersalah itu belum juga hilang. Belakangan, sorot mata perempuan itu selalu menghantui, terlebih ketika saya sedang sendiri. Sorot mata itu menyiratkan harapan untuk bertahan hidup ditengah dera badai dan hujan. Namun Tuhan, (dengan segala macam hukum sebab akibat yang bekerja di setiap ranting takdir, dibalik setiap detil peristiwa yang terjadi di muka bumi ini, termasuk kejadian itu), berkata lain. Saya masih berusaha mereka-reka hikmah dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari pengalaman berharga ini. Pastinya, Dia (sekali lagi) memperlihatkan kuasaNya lewat ganasnya badai, angin, dan hujan, dan menyadarkan betapa kecilnya kita -manusia- dihadapan alam, terlebih dihadapan Pencipta alam. Benarlah adanya, bahwa kita tidak pernah punya cukup alasan untuk sombong dan merasa besar, karena toh kita memang tidak berharga apa-apa dihadapNya.
KEMATIAN TIDAK DAPAT DIPERCEPAT DENGAN MENDAKI GUNUNG,
KEMATIAN TIDAK DAPAT DIPERLAMBAT DENGAN TIDAK MENDAKI GUNUNG,
DAN TUHAN BERSAMA ORANG-ORANG PERMBERANI
(dikutip dari sebuah prasasti di sekitar pos 5 Lompobattang)
Duhai Sang Raja Manusia, yang ditanganNya tergenggam hidup dan mati
Ampunkan dosa kami, ampunkan dosa mereka yang pergi mendahului kami
Selamat jalan buat Daeng Makkulling, Farid Muhammad, dan Sumiati,
semoga kalian damai disana…