Dia terlahir sebagai Habibi, kalau tidak salah, lengkapnya
Muhammad Habibi. Tapi entah sejak kapan dia dipanggil dengan nama Dofo.
Dulu, di kampung ada trend mengganti nama panggilan sesuka-suka kita,
yang kita rasa-rasa kira-kira keren. Aku mengenalnya ketika SMP, waktu
itu di kampung kami lagi musim balap sepeda.
Tiba-tiba aku
ingin menulis sesuatu tentang Dofo setelah sekitar delapan tahun tak
bertemu, sambil mengais-ngais ingatanku yang payah untuk mengingat
jaman-jaman yang lama.
Aku teringat pada sebuah baju bergambar mobil bertuliskan Land Rover,
dengan merek C59, berwarna biru tua. Aku membelinya ketika menjelang
lebaran. Suatu sore, aku memakainya ketika hendak les sore di sekolah.
Angkot yang aku tumpangi waktu itu ternyata sudah berisi beberapa
penumpang, salah seorang diantaranya adalah Dofo yang langsung tertawa
begitu melihatku. Setelah aku perhatikan, ternyata baju yang kami
kenakan sama persis.
Di sekolah, hampir semua anak
laki-laki mengenal Dofo. Dia terkenal bengal, mungkin karena pengaruh
lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Tapi, di sisi lain, Dofo juga
adalah orang yang setia kawan, dan paling suka bercanda. Di antara
teman-teman sebaya, Dofo menjadi salah seorang yang disegani. Kalau kamu
tergolong anak yang nakal, bertemanlah dengan Dofo, niscaya dia akan
menjadi “partner in crime” yang baik. Kenangan ketika bersama-sama
melompati pagar sekolah dan dikejar-kejar guru yang mencari siswa-siswa
berambut panjang berkelebat di kepalaku. Aku dan Dofo termasuk DPO kala
itu. Di penghujung masa SMA, nasib sial menimpa Dofo dan dua orang kawan
lainnya. Ditemukan sebuah barang bukti berupa botol minuman yang
berakhir dengan keputusan ia dikeluarkan dari sekolah. Sebagian besar
anak kelas tiga berkumpul di depan koperasi sekolah, untuk sekedar
bersimpati menyesali keputusan itu. Padahal sebentar lagi kami Ebtanas.
Namun sebenarnya, keputusan itu tidak berarti apa-apa bagi pertemanan
kami, karena sekolahnya saja yang pisah, toh hampir setiap malam kami
bertemu di rumah salah seorang teman, rumah yang kami sebut sebagai
Barak.
Selain kenangan tentang baju Land Rover itu, aku
juga teringat akan sebuah jaket berwarna biru putih. Dofo meminta
kepadaku untuk dibuatkan sulaman di sisi belakang jaket itu dengan
tulisan “Bharaq”. Jaket itu aku bawa pulang ke rumah dan mengerjakannya
hingga tengah malam. Besoknya, lepas jam sekolah aku memperlihatkan
hasilnya, dan dia sangat senang. Dia selalu memamerkannya kepada
teman-teman yang lain, dengan bangga.
Ingatan itu seperti
keping-keping puzzle. Dan tentang hubungan pertemanan dengan Dofo, aku
tidak mampu menyusunnya dengan lengkap. Kabar terakhir yang aku dengar,
setelah tamat SMA, Dofo ikut di kapal pencari ikan hingga ke Kupang.
Meskipun itu tidak berapa lama dan pada akhirnya dia kembali juga ke
kampung, aku tidak pernah sempat bertemu dengannya. Padahal Dofo adalah
salah satu dari daftar teman yang selalu ingin kutemui setiap aku
pulang. Hingga mudik lebaran kemarin pun, aku lagi-lagi tidak sempat
bertemu. Rumah kami, bahkan, tidak terpaut cukup jauh jaraknya.
***
Beberapa
hari kemarin, aku dikagetkan oleh sms dari seorang kawan yang berisi
permohonan doa untuk Dofo yang sedang berjuang melewati masa kritis. Dia
menjadi korban tabrak lari dari sebuah mobil berplat merah.
Setelah empat hari terbaring koma, kemarin pagi Dofo meninggal.
Sep 28, 2010
Habibi
© Technology 2013 All rights reserved | Template by Buhth |