menulis apa saja; sekadar melawan lupa

Aug 13, 2013

Pulang

INI tentang jarak. Dari kampung halaman hingga ke tempat saya berdiri sekarang terentang satu setengah hari perjalanan. Jika kecepatan kapal konstan di angka 9 knot, maka butuh 26 jam untuk sampai di pelabuhan terdekat, ditambah 5 jam perjalanan darat dan 4 jam di udara. Di antaranya ada empat airport berbeda yang harus disinggahi.

Arus takdir telah menyeret saya untuk sampai di sini, saat ini, terapung-apung di atas laut lepas, demi sebuah proyek mengeruk emas hitam dari perut bumi, jauh di sisi sebelah barat rumah yang awalnya saya niati untuk pulang jika Ramadhan hampir berakhir.



***



Saya terbangun akibat kolaborasi guncangan kapal dan mimpi jatuh ke laut lalu harus berjibaku menyelamatkan diri dari kepungan segerombolan hiu hammerhead. Mimpi buruk semacam ini akibat kebiasaan lupa berwudhu serta melalaikan adab tidur. Saya merogoh iPod di bawah bantal. Benda kecil yang saya alihfungsikan sebagai penanda waktu itu menerakan angka tiga dini hari di layarnya. Sepertinya tadi saya kelelahan akibat terlalu lama menatap monitor, hingga akhirnya tergeletak begitu saja dengan coverall setengah terbuka, semacam tidur tanpa rencana. Setelah memohon ampun kepada Tuhan berulang kali, saya bangkit menuju kamar mandi.

Terngiang perkataan Faiz sore tadi, monsoon datang lebih awal, meski hari ini kalender baru saja berganti lembar dari Juli ke Agustus. Kapal rolling, terasa seperti ada gempa. Kemarin dan sekian belas hari sebelumnya keadaan masih baik-baik saja, tidak begini. Sembari berpegangan pada dinding kabin, saya berjalan keluar terhuyung-huyung bak orang mabuk. Di dalam kamar mandi saya temukan Pak Komang tengah khusyu' menenggelamkan kepalanya di lubang wastafel, dia sudah dapat jackpot lebih dulu. Berita cuaca mengatakan, ini masih akan berlangsung hingga beberapa hari ke depan. Besoknya, sesuai prediksi, Laut Cina Selatan berubah perangai menjadi genit, angin bertiup kencang 83 km/jam, ombak 2 meter, hujan jatuh horizontal. Pintu-pintu ditutup rapat. Terdengar suara Bu Suci, Chief Officer yang sedang bertugas di bridge berteriak dari balik corong, mengingatkan bagi yang tidak berkepentingan untuk tidak keluar ruangan. Kalau melihat kondisi, sepertinya yang berkepentingan pun akan mengurungkan niatnya. Hanya Bosun, lelaki tinggi dan berbadan tegap, terlihat berlari-lari di back-deck, tanpa work vest, tanpa raincoat, seolah rasa takut telah tercerabut dari dirinya. Entah apa yang ia bereskan di belakang sana, mungkin menutup pintu container agar gun compressor tidak basah oleh tempias hujan. Kami yang berada di survey room menatap keadaan di luar dari balik pintu kaca sambil tersenyum menguatkan hati. Saya curiga sepenuhnya, orang-orang di dalam sini sebenarnya diam-diam sedang merapal doa. Saya, pun. Cuaca buruk dan tinggi ombak memang selalu berbanding lurus dengan kadar keimanan. Ah, manusia. Hari hampir magrib ketika suara Bu Suci muncul lagi menyampaikan maklumat, waktu berbuka jatuh pada pukul 19.25.

Tersiar kabar, nun jauh di darat sana, para petinggi di kantor pusat telah mengetuk palu untuk sebuah keputusan penambahan lokasi survey dan durasi waktu kerja. Dengan merujuk hasil hitung-hitung kasar, baru sekitar tanggal 11 atau 12 pagi kami bisa sampai di Pelabuhan Kemaman, jika semua lancar dan cuaca mendukung. Tapi melihat gelagat alam dua hari ini, semuanya menjadi kabur. Dari draft purchase order, seharusnya saya dan beberapa orang crew digital dipulangkan lima hari sebelum lebaran. Tapi atas nama efektifitas dan efisiensi, demi penghematan waktu dan biaya operasional, kami dipersilakan untuk mengucapkan selamat tinggal pada kebahagiaan berkumpul bersama keluarga di hari raya.

Jangan tanya hal ini pada Craig dan Byron, dalam kamus mereka berdua tidak ada istilah mudik, meski kampungnya jauh di bagian selatan Inggris Raya. Sementara Faiz, ia, pada suatu malam telah mengumumkan keterbuangannya, bahwa ayahnya pun tak akan mencari jika ia tak pulang, untuk itu ia tak peduli pada tambahan lima atau sepuluh hari kerja. Ia hanya ingin memastikan tanggal 21 nanti ia sudah harus berada di Kuala Lumpur untuk bergabung bersama ribuan pendukung musik cadas menyaksikan konser Metallica. Shaf depan panggung telah ia pastikan menjadi miliknya, ditandai dengan selembar tiket yang ia bayar mahal, 600 ringgit. Bagaimana dengan Izuan? Dari yang tersirat di wajahnya saya tidak berhasil menangkap ekspresi apa-apa, entah senang entah kecewa. Dan saya, atas keputusan ini, hanya mendapat semacam kejutan mental yang hampir tidak terbayangkan sebelumnya. Alih-alih kesal, saya juga bersikap seperti kawan-kawan lain, tenang-tenang saja.  Saya tidak boleh kecewa karena tidak pulang, karena itu bisa membakar hangus niat awal saya berada di sini. Bukan berarti, berlebaran di kampung sama dengan bahagia, lantas tidak berlebaran di kampung sama dengan tidak bahagia. Bukan itu. Tapi, lebih tepatnya karena kebahagiaan itu telah saya retas dan bagi rata kepada kondisi apapun yang tertakdir bagi diri saya. Saya senantiasa belajar bagaimana untuk tidak mempunyai alasan untuk tidak merasa bahagia. Begitu. Lagipula, walaupun standby, there is now way to go home. So, enjoy aja lah. Berita baiknya, allowance tetap terhitung sebagai kompensasi overtime untuk saya dan empat orang tadi. It's easy money. Meski memang, konsekuensi dari keputusan menerima pekerjaan ini adalah menyerahkan sepenuhnya kendali atas waktu milik diri kepada mereka yang bertindak selaku pembeli jasa, dalam hal ini client.

Bulan Puasa memasuki paruh sepertiga akhir ketika tugas-tugas saya sudah selesai. Tinggal menunggu crew analog merampungkan Pipe Line Survey yang masih tersisa berkilo-kilo meter panjangnya, baru setelah itu kapal boleh sailing pulang merapat ke darat. Karena mengingat tidak bisa berlebaran di rumah, sebagian teman sudah menunjukkan tanda-tanda "hampir gila". Zaidi sering kali tiba-tiba menggebrak meja lalu berlari melompat keluar dari ruangan, menyalakan rokok dan menggerak-gerakkan tangannya seperti menulis sesuatu di udara. Hanna pun tak kalah aneh, perempuan bertubuh mungil ini pernah sekali waktu muncul di hadapanku sambil menenteng walkie talkie dan tiba-tiba berbaring telentang di atas bangku kayu. Kala itu, saya langsung pura-pura buta. Pak Bachir, yang paling tua di antara kami, sekaligus bertindak selaku Kepala Proyek, menurut penuturan Bu Suci, kadang kala di bridge seperti ada yang menekan tombol on/off di punggung Pak Bachir jika lagu favoritnya terputar di PC. Ia akan langsung berdiri berjoget-joget dan akan duduk tenang kembali begitu lagu habis. Saya tidak bisa membayangkan adegan itu dilakonkan oleh orang yang mempunyai perangai mudah naik pitam dan selalu mengatakan "I'll kill you…" jika melihat perilaku yang tak sesuai dengan kehendak hatinya. Pak Komang lain lagi, di siang hari saat semua sedang serius bekerja, ia berdiri di belakang kursi salah seorang kawan kemudian menari berputar memamerkan biskuit yang ia makan sambil menggoda orang-orang yang berpuasa. Besar kemungkinan, malam itu di kamar mandi ia muntah akibat karma biskuit.

Dan, sebelum ikut tertular penyakit gila, mumpung Ramadhan masih tersisa beberapa hari lagi, saya memutuskan berdiam di kamar, melanjutkan agenda mengurung diri, menyelesaikan yang selama ini terabaikan, mushaf yang merindukan genggaman, juz-juz yang menanti ditamatkan. Saya berencana mengulang lagi pola rutinitas tidur-bangun-shalat-ngaji. Tapi ternyata saya tidak cukup kuat. Jam biologis berubah akibat jadwal kerja yang tidak teratur. Tidur malah jadi lebih banyak, seolah tubuh butuh balas dendam atas jatah istirahat yang tergadai.


***


Pada proyek offshore kali ini, saya tidak membawa buku bacaan. Selain malas, tentu saja hal itu bisa menambah berat tas. Meski akhirnya saya menyesal juga ketika rasa bosan mencapai taraf akut. Saat saya bertanya kepada kawan-kawan siapa di antara mereka yang punya buku, semuanya menggeleng, kecuali Pak Komang. Ia menyodorkan dua, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, ini sudah pernah saya baca sebelumnya, maka saya tolak. Yang satunya lagi adalah novel berbahasa inggris, ini juga saya tolak karena sudah pasti saya tidak mengerti.

Akhirnya, sebagai alternatif pembunuh waktu, saya mencoba mencari bacaan yang menarik di internet. Salah satu halaman yang ter-bookmark di browser adalah weblog pejalanjauh milik Zen Rahmat. Saya sengaja memilih secara acak. Klik kursor jatuh di arsip bulan Oktober 2007. Yang saya dapati, hampir semua tulisan di bulan itu bertema lebaran. Kebetulan yang aneh. Di dalam salah satu tulisannya saya menemukan, "Sungkem di haribaan ibu memang laku yang menggetarkan. Tapi, memilih secara sadar untuk tidak sungkem pada ibu, pastilah jauh lebih menggetarkan, karena pilihan itu dibayangi oleh sekian rasa takut…"

Saya jadi teringat rumah. Rumah yang jauh yang hanya bisa saya jangkau lewat direct message akun twitter milik adik saya. Di kotak kecil itu, baru saja saya menyampaikan pesan, "Terkirim uang seadanya untuk keperluan lebaran, tolong selesaikan urusan zakat saya. Sampaikan salam, permohonan maaf serta sembah sujud saya kepada mama, saya tidak bisa pulang, masih ada kerjaan…"

Dada saya sesak.


***


Temaram sisa senja membias di ufuk. Seusai berbuka di galley, saya keluar dan duduk sejenak menunggu gradasi langit berakhir pada gelap. Seketika, ada yang seolah-olah memantik rindu. Perasaan itu perlahan-lahan menjalari tubuh saya.

Di dalam kamar, setelah selesai shalat magrib, saya duduk termenung mengingat tahun-tahun yang lewat. Saat-saat seperti ini suasana akan ramai oleh riuh petasan dan kembang api, bersahut-sahutan dengan gemuruh suara menara-menara masjid yang me-Maha-Besar-kan Nama Tuhan. Tidak ada hal itu di sini, selain bising mesin, sisanya sunyi belaka. Saya hanya mendengar suara takbir yang keluar dari mulut sendiri dengan terbata-bata.

Di ujung malam, saya membisikkan sesuatu, "Mohon, Tuan Atid, jangan tutup dulu buku catatan amal saya, invoice baru cair bulan depan…" 




***



Pagi ini saya patuh pada alarm. Saya tadi membuat perjanjian sebelum tidur, bahwa saya akan bangun pukul lima. Tidak seperti biasanya, kali ini snooze tidak berlaku. Subuh masuk 45 menit lagi. Saya diliputi rasa penasaran perihal akan seperti apa hari ini terlewati.

Setelah shalat subuh tunai, saya naik ke bridge, mendekat ke antena pemancar wi-fi, mencoba untuk berhubungan dengan dunia luar. Tiba-tiba Bu Suci muncul dan menyampaikan bahwa kita akan melaksanakan shalat Ied pada pukul delapan di muster station. Saya tidak menyangka. Ini kejutan. Saya menengok keluar, ke tempat yang berfungsi sebagai meeting point jika misalnya terjadi insiden abandon ship ataupun kebakaran. Terlihat Harris dan Pak Barja sedang menggelar terpal. Bu Suci menyetel file mp3 yang ia copy dari laptop Izuan. Ia mengarahkan microphone ke hadapan loudspeaker komputer. Lamat-lamat terdengar toa mengumandangkan takbiran. Saya menghentikan kegiatan, bergegas ke bawah untuk mandi.  

Beberapa orang telah lebih dulu berada di muster station ketika saya ikut bergabung. Satu per satu kawan menyusul dan menyusun shaf di atas terpal berlapis lembar-lembar peta yang tidak terpakai. Takbir dipimpin oleh Electrician, meskipun suaranya terdengar kurang jelas ditelan bunyi yang dihasilkan ventilasi engine room. Kapten Kahar muncul terakhir. Tugas mengemudikan kapal sementara waktu diserahkan kepada Byron. Ia mahir untuk itu dan pula memiliki lisensi.

Salah seorang marine crew, Romi, yang sehari-harinya bertugas di lambung kapal sebagai oiler, berdiri maju ke depan, mengingatkan kembali perihal tata cara shalat Ied. Ia sekaligus didaulat menjadi imam, dengan tandem Zaidi sebagai khatibnya. Sepertinya pagi ini Zaidi kembali menjadi waras setelah berhari-hari (hampir) gila.

Dalam keterbatasan itu, kami tidak tahu entah syarat dan rukun yang mana dari pelaksanaan shalat Ied yang terabaikan. Mungkin saja dari segi limit terendah kuantitas jamaah, mengingat yang berkumpul hanya berjumlah dua puluh orang dan kesemuanya laki-laki. Bu Suci dan Hanna tidak ikut bergabung karena sesuatu dan lain hal–you know what i mean. Tapi, terlepas dari itu, segala persembahan kami pagi ini hanya dilatarbelakangi oleh sebuah itikad baik dan pengharapan semoga Tuhan berkenan menerima semuanya.

Ketika khutbah selesai dibacakan, dan doa-doa selesai dilangitkan, Kapten berdiri menghampiri dan menyalami Zaidi, disusul kawan-kawan lain hingga membentuk setengah lingkaran, saling berjabat satu sama lain sambil melantunkan shalawat. Harris menyebut suasana ini sebagai dramatic moment. Deeply touching.

Kami semua turun ke galley setelah ritual pagi 1 Syawal selesai. Sepertinya Koki bekerja keras semalam. Ia tampak cukup kreatif memberbagaikan makanan. Ini kejutan yang kedua. Lagi-lagi saya tidak menyangka. Telah terhidang rapi di atas meja mulai dari opor ayam, rendang, sate, ikan bakar, kue ketan, minuman cincau, puding, risoles, udang spring roll, hingga kue-kue kering beberapa stoples pun ikut tersaji. Rasanya seperti berada di rumah saja. Hanya ketupat yang terlihat berbeda saat itu, tampil dalam balutan busana berbungkus plastik bening. Itu ketupat atau lontong ya? Maklum saja, tak ada daun di sini.

Pak Bachir dipersilakan menyampaikan open speech. As usual, selamat hari raya bla... bla... bla..., maaf lahir batin bla... bla... bla..., because this is our second home bla… bla… bla…, dan mari makan. Pesta pun dimulai. Beberapa orang tampak seperti sedang melakukan pembalasan dendam. Teman-teman non muslim ikut bergabung, menyampaikan ucapan selamat lebaran. Semua larut dalam suasana haru dan bahagia. Kelak pada suatu saat yang jauh di hari depan ini akan menjadi sebuah kenangan yang hebat.


"Shalat Ied di atas M.V. Java Imperia"



Saya kembali ke bridge ketika acara makan-makan usai, kurang lebih pukul sebelas. Notification penanda pesan masuk dari berbagai aplikasi chat dan social network memenuhi layar ponsel, menyampaikan ucapan-ucapan yang sifatnya formalitas-rutinitas tahunan hasil template atau copy-paste dan send to many. Sulit menemukan ucapan yang sifatnya personal sesuai dengan konteks kedekatan hubungan pertemanan. Kemudahan untuk menyambung silaturrahmi yang ditawarkan oleh perkembangan teknologi masih saja dipangkas oleh rasa malas. Dan, sama halnya, semua hanya saya balas dengan "sama-sama". Saya mendapatkan kejutan yang ketiga pada hari ini. Di antara ucapan-ucapan itu, terselip satu buah yang mengusik perasaan. Seorang kawan mencoba mengirimkan simpati berupa kalimat, "Kasihan kau karena tidak bisa berlebaran di rumah…" Saya termenung sejenak, seraya menengok ke dalam diri, mencari-cari hal apa gerangan yang membuat saya pantas untuk dihadiahi rasa kasihan, dan  mencoba mengingat kembali segala hal yang menjadi alasan saya untuk memilih berada di sini. Sorry, there is no one thing that deserves to be pitied . You drunk!


Saya tidak ingin menjadi ge'er dengan merasa diri telah meraih kemenangan pada hari ini. Tapi, di balik itu, cukuplah saya merasa senang telah melewati pertandingan yang lebih sengit ketimbang tahun-tahun sebelumnya, pertandingan menaklukkan diri sendiri, meskipun kalah. Kalaupun harus ada, satu-satunya hal yang patut dikasihani dari Ramadhan tahun ini adalah betapa perihnya melewati magrib selama sebulan tanpa sekalipun melihat pisang ijo. Ah, lebay.


***



10 Agustus 2013


Sejam lagi, kurang lebih, saya tiba di rumah. Di dalam mobil angkutan bandara, hanya terisi oleh saya dan sepasang suami istri dengan dua orang anak kecil. Tiga hari yang lalu, survey tidak bisa dilanjutkan berhubung ada alat yang rusak. Dengan sangat terpaksa pekerjaan ditunda hingga alat pengganti datang dari Singapore. Kapal buang jangkar, menunggu di anchorage zone di sekitar Pelabuhan Kemaman. Crew digital dipulangkan.


Perjalanan panjang dan melelahkan, Terengganu - Kuala Lumpur - Jakarta - Makassar - Kolaka. Saya berharap masih mendapat sisa-sisa suasana hari raya. Telapak kaki yang disebut sebagai surga merindukan kecupan. []


***









Happy belated Eid Mubarak,
If just simply want to forgive each other, we do not need this celebration...


© Technology 2013 All rights reserved Template by Buhth