INI perkara waktu. Kita harus cakap memilah sesuatu, bahwa dalam
hidup ada hal yang sakral dan ada pula yang profan. Hajar Aswad,
misalnya, hanya akan menjadi sebongkah batu biasa tanpa keistimewaan
apa-apa jika dalam sejarahnya tidak dimuliakan oleh Baginda Nabi SAW.
Juga, sebagai contoh lain, kertas pembungkus kacang tentu akan berbeda
dengan kertas bahan Al-Qur'an, meskipun keduanya berasal dari satu pohon
yang sama. Batu dan kertas telah mengalami transformasi menjadi sesuatu
yang sakral. Kongruen halnya, ada waktu-waktu tertentu yang tidak lagi
berada pada wilayah "biasa". Seperti sepertiga malam terakhir. Kalau
dalam skala tahunan, yang termasuk "waktu istimewa" adalah bulan
Ramadhan. Bayangkan bagaimana sepertiga malam terakhir di bulan
Ramadhan. Ada satu malam khusus di dalamnya, yang kita kenal sebagai
Lailatul Qadr. Bayangkan lagi, bagaimana malam di malam itu, saat nilai
kebaikan meningkat pesat seperti pada fungsi eksponensial.
Tuhan telah memanggil, bulan ini adalah saat yang spesial untuk-Nya, dan untuk manusia tentu saja. Untuk bangsa setan bahkan, karena sementara waktu mereka dibebastugaskan. Mungkin saat ini mereka sedang senyum-senyum melihat Atid yang kebanjiran pekerjaan. Perihal keutamaan-keutamaan Ramadhan, tak perlu saya ceriterakan, hampir semua kita sudah tahu, meskipun mengetahui tidak berarti mengamalkan. Saya ada di antara yang dianalogikan pepatah arab sebagai "pohon yang tak berbuah".
Tersebab hal tersebut, jauh sebelum Ramadhan digelar, saya sudah mempersiapkan diri, mewanti-wanti teman-teman yang berperan mengatur pekerjaan di kantor untuk tidak memberikan proyek kepada saya selama Ramadhan berlangsung, saya mau fokus. Saya tidak ingin waktu-waktu istimewa terlewatkan percuma. Waktu bukan waktunya lagi–seperti adagium klasik–didefenisikan sebagai uang. Saya pikir, sebulan ini ada baiknya saya berlepas diri dulu dari urusan dunia.
Terlalu beresiko menjalani puasa di tempat seperti Jakarta, apalagi untuk pengidap penyakit lemah iman dan hati rawan maksiat seperti saya. Berjarak beberapa langkah dari depan pintu rumah, akan dengan mudah kau temui berbagai hal yang dapat menyeretmu menjadi penyandang predikat "golongan yang tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga". Makanya, saya putuskan untuk bersembunyi di kamar. Empat hari pertama berjalan mulus. Hidup saya berputar pada siklus tidur-bangun-shalat-ngaji-tidur-bangun-shalat-ngaji, diselingi makan minum secukupnya, sebutuhnya. Sedapat mungkin, hal-hal yang terhukumi sebagai ibadah sunnah juga saya sikat. Mumpung, saat ini ganjarannya berkali lipat. Ya, kapan lagi, tidak ada yang menjamin usia bertahan hingga tahun depan, sementara bekal pulang masih jauh dari kata cukup dan timbangan amal lebih condong berat di kiri. Keadaan mengurung diri di kamar sampai-sampai mengkhawatirkan Habib Ali, tetangga sebelah yang kerap datang mengetuk pintu untuk memastikan saya baik-baik saja.
"San, ente sakit ya, koq kaga' pernah keluar, kaya' orang putus cinta aja," katanya pada suatu petang, sambil mengajak saya berbuka di rumahnya.
"Ane bae', Bib," jawab saya singkat.
Kerja-kerja indra coba untuk saya minimalisir, seraya berusaha sekuat tenaga mencontoh style puasa a la Sayyidah Maryam. Tapi, ampun, betapa susahnya untuk tidak mendengarkan musik dalam sehari, serta betapa beratnya untuk meninggalkan kebiasaan berbicara hal-hal tidak penting, di dunia nyata, lebih-lebih di dunia maya.
Ada sebuah buku yang cukup melegenda di kalangan mahasiswa, semacam handbook buat mereka yang aktif di pergerakan, judulnya Rekayasa Sosial. Jangan coba-coba ikut nimbrung di lingkaran kelompok kajian jika belum menamatkannya, begitu kata Tuan Senior. Kalau tak salah, saya pernah membaca tentang Needs Classification di dalamnya. Mulai dari yang terbawah berupa pemenuhan kebutuhan indrawi, kepemilikan materi, hingga yang tingkatannya lebih tinggi dan lebih abstrak, termasuk di sini kebutuhan terhadap pengakuan orang lain. Anak gaul sekarang menyebutnya dengan istilah "banci eksis". I hide one thing in the cycle that mentioned above, bahwa pola rutinitas tadi juga sesekali diselingi kegiatan mengintip halaman Twitter, Path, dan Facebook. Celakanya, saya tidak bisa tahan untuk tidak updates. Mulut boleh dibungkam, tapi jempol yang akan bicara. Empat sisi dinding kamar jadinya hanya batas semu semata. Ini salah satu cobaan berat berpuasa di zaman digital. Kadang saya menyayangkan, mengapa perkembangan teknologi terlalu cepat dan terlalu jauh berlari. Ingin rasanya kembali berada di era kejayaan Nokia 3310, masa di mana internet dan social networking tidak menguras habis waktu dan membuatmu kecanduan begitu rupa. Mungkin, hikmahnya, untuk kondisi-kondisi seperti inilah Ramadhan hadir lagi dan mengingatkan kepada kita perihal bagaimana memahami esensi serta keterhubungan antara kata "kendali" dan "hawa nafsu". Puasa, sejatinya, adalah tali kekang bagi keinginan-kebutuhan serta nafsu liar yang senantiasa pergi pulang dari dan ke tempatnya bersemayam, hati.
Dua hari yang lalu, misi persembunyian saya terganggu oleh sms yang datang dari seorang kawan, memberitakan perihal pekerjaan, yang tidak bisa tidak, saya yang harus melakoninya. Saya mau tolak, tidak bisa. Saya coba lobi dengan menawarkan pengganti pun tetap tidak bisa. Saya sedih dan kecewa. Baru saja saya mau menikmati keadaan, mereka datang membuyarkan rencana-rencana. Namun, setelah beberapa saat bersitegang, akhirnya saya mengalah, tapi tentu ini bukan tanpa alasan.
Tuhan telah memanggil, bulan ini adalah saat yang spesial untuk-Nya, dan untuk manusia tentu saja. Untuk bangsa setan bahkan, karena sementara waktu mereka dibebastugaskan. Mungkin saat ini mereka sedang senyum-senyum melihat Atid yang kebanjiran pekerjaan. Perihal keutamaan-keutamaan Ramadhan, tak perlu saya ceriterakan, hampir semua kita sudah tahu, meskipun mengetahui tidak berarti mengamalkan. Saya ada di antara yang dianalogikan pepatah arab sebagai "pohon yang tak berbuah".
Tersebab hal tersebut, jauh sebelum Ramadhan digelar, saya sudah mempersiapkan diri, mewanti-wanti teman-teman yang berperan mengatur pekerjaan di kantor untuk tidak memberikan proyek kepada saya selama Ramadhan berlangsung, saya mau fokus. Saya tidak ingin waktu-waktu istimewa terlewatkan percuma. Waktu bukan waktunya lagi–seperti adagium klasik–didefenisikan sebagai uang. Saya pikir, sebulan ini ada baiknya saya berlepas diri dulu dari urusan dunia.
Terlalu beresiko menjalani puasa di tempat seperti Jakarta, apalagi untuk pengidap penyakit lemah iman dan hati rawan maksiat seperti saya. Berjarak beberapa langkah dari depan pintu rumah, akan dengan mudah kau temui berbagai hal yang dapat menyeretmu menjadi penyandang predikat "golongan yang tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga". Makanya, saya putuskan untuk bersembunyi di kamar. Empat hari pertama berjalan mulus. Hidup saya berputar pada siklus tidur-bangun-shalat-ngaji-tidur-bangun-shalat-ngaji, diselingi makan minum secukupnya, sebutuhnya. Sedapat mungkin, hal-hal yang terhukumi sebagai ibadah sunnah juga saya sikat. Mumpung, saat ini ganjarannya berkali lipat. Ya, kapan lagi, tidak ada yang menjamin usia bertahan hingga tahun depan, sementara bekal pulang masih jauh dari kata cukup dan timbangan amal lebih condong berat di kiri. Keadaan mengurung diri di kamar sampai-sampai mengkhawatirkan Habib Ali, tetangga sebelah yang kerap datang mengetuk pintu untuk memastikan saya baik-baik saja.
"San, ente sakit ya, koq kaga' pernah keluar, kaya' orang putus cinta aja," katanya pada suatu petang, sambil mengajak saya berbuka di rumahnya.
"Ane bae', Bib," jawab saya singkat.
Kerja-kerja indra coba untuk saya minimalisir, seraya berusaha sekuat tenaga mencontoh style puasa a la Sayyidah Maryam. Tapi, ampun, betapa susahnya untuk tidak mendengarkan musik dalam sehari, serta betapa beratnya untuk meninggalkan kebiasaan berbicara hal-hal tidak penting, di dunia nyata, lebih-lebih di dunia maya.
Ada sebuah buku yang cukup melegenda di kalangan mahasiswa, semacam handbook buat mereka yang aktif di pergerakan, judulnya Rekayasa Sosial. Jangan coba-coba ikut nimbrung di lingkaran kelompok kajian jika belum menamatkannya, begitu kata Tuan Senior. Kalau tak salah, saya pernah membaca tentang Needs Classification di dalamnya. Mulai dari yang terbawah berupa pemenuhan kebutuhan indrawi, kepemilikan materi, hingga yang tingkatannya lebih tinggi dan lebih abstrak, termasuk di sini kebutuhan terhadap pengakuan orang lain. Anak gaul sekarang menyebutnya dengan istilah "banci eksis". I hide one thing in the cycle that mentioned above, bahwa pola rutinitas tadi juga sesekali diselingi kegiatan mengintip halaman Twitter, Path, dan Facebook. Celakanya, saya tidak bisa tahan untuk tidak updates. Mulut boleh dibungkam, tapi jempol yang akan bicara. Empat sisi dinding kamar jadinya hanya batas semu semata. Ini salah satu cobaan berat berpuasa di zaman digital. Kadang saya menyayangkan, mengapa perkembangan teknologi terlalu cepat dan terlalu jauh berlari. Ingin rasanya kembali berada di era kejayaan Nokia 3310, masa di mana internet dan social networking tidak menguras habis waktu dan membuatmu kecanduan begitu rupa. Mungkin, hikmahnya, untuk kondisi-kondisi seperti inilah Ramadhan hadir lagi dan mengingatkan kepada kita perihal bagaimana memahami esensi serta keterhubungan antara kata "kendali" dan "hawa nafsu". Puasa, sejatinya, adalah tali kekang bagi keinginan-kebutuhan serta nafsu liar yang senantiasa pergi pulang dari dan ke tempatnya bersemayam, hati.
Dua hari yang lalu, misi persembunyian saya terganggu oleh sms yang datang dari seorang kawan, memberitakan perihal pekerjaan, yang tidak bisa tidak, saya yang harus melakoninya. Saya mau tolak, tidak bisa. Saya coba lobi dengan menawarkan pengganti pun tetap tidak bisa. Saya sedih dan kecewa. Baru saja saya mau menikmati keadaan, mereka datang membuyarkan rencana-rencana. Namun, setelah beberapa saat bersitegang, akhirnya saya mengalah, tapi tentu ini bukan tanpa alasan.
***
Saya berkhidmat kepada seorang Mursyid, yang kedalaman ilmunya, boleh dikata, tak tertandingi. Sepanjang yang saya kenal, tidak pernah saya melihatnya melewati satu hari tanpa membaca kitab. Jikalau kau mendengar cerita tentang kedermawanannya, matamu akan terbelalak dan mulutmu akan berkata wow. Sungguh, tiada tara. He guided me to a better condition than who i was previously, alaa kulli hal, lahir dan batin. Pada dirinya tercermin sifat matahari, memberi kepada yang berada di bawahnya tanpa memandang apa, siapa dan dari mana latar belakangnya. Pada dirinya ada sifat laut, lebar lengannya mampu menampung dan menerima segala macam persoalan dan kegelisahan umat manusia yang mengalir dari hulu sungai kehidupan. Beliau menyebut dirinya sebagai al-Bahr, Lautan.
Kepadanya, segala permasalahan berujung pada jalan keluar, termasuk kerisauan atas pekerjaan yang saya anggap sebagai "gangguan" dalam menjalani Ramadhan. Saya utarakan seluruh resah hati dan kebutuhan atas petunjuk, yang mana yang harus saya pilih antara menerima tawaran pekerjaan atau fokus beribadah di rumah. Sms saya terbalas hanya dengan satu kata: Pergi.
"Ini kan Ramadhan?" tanya batin saya. "Bagaimana mungkin saya disuruh untuk meninggalkan kesempatan yang telah Tuhan buka."
"Pergi" kemudian merasuki alam perenungan saya. Konklusi "pergi" itu saya pandang sebagai puzzle, dan saya harus menyusun keping-keping premis yang berserakan agar tercipta gambaran jawaban yang jelas. Ternyata saya harus memutar balik point of view terhadap pekerjaan. Ada value yang harus dilekatkan di situ sehingga tidak terjatuh menjadi urusan dunia belaka. Satu-satunya cara agar hal tersebut bernilai ibadah adalah menggiringnya ke wilayah sosial, dengan mendermakan semua penghasilan yang didapat untuk kepentingan orang-orang susah dan tidak mampu.
Jadi, begini...
Urusan berasyik-masyuk dengan Tuhan dengan cara mengurung diri beribadah di kamar, setelah saya selami lagi, rupanya itu terkesan egois. Junjungan kita, Rasulullah SAWW menjalani Ramadhan dengan bersedeqah jauh lebih banyak dan lebih sering ketimbang bulan-bulan sebelumnya. Dalam sejarah disebutkan melebihi hembusan angin. Akal saya gagap menjangkau model sadaqah macam apa gerangan yang frekuensinya melebihi hembusan angin. It was great, exactly, menakjubkan. Nah, untuk ittiba' terhadap hal itu, kita butuh harta, dan karena butuh harta makanya kita harus bekerja. Kalau mau bersedeqah lebih banyak, berarti harus berharta lebih banyak, it means harus bekerja lebih giat. Mengisi Ramadhan bukan melulu perkara berapa kali putaran tamat baca Qur'an selama sebulan, atau berapa banyak additional rakaat yang ditunaikan diluar dari tujuh belas per lima waktu seperti biasanya, lebih dari itu, pengamalan ibadah sosial harus mendapat porsi yang lebih besar. Ramadhan berisi satu paket ibadah. Di dalamnya ada dua kewajiban utama, yakni puasa dan zakat. Setelah puasa, yang merupakan urusan vertikal dengan Tuhan terpenuhi, zakat adalah kewajiban lain yang menunggu ditunaikan, arahnya horizontal, hubungan manusia dengan manusia. Meskipun ada standar berapa besar yang harus dikeluarkan, tetapi alangkah baiknya jika kita mau dan mampu melampaui itu. Bukankah standar diciptakan tidak untuk dicapai, melainkan untuk dilampaui? Kalau kau tak percaya, coba tanya kepada penggiat MLM. Sadaqah dan zakat itu laksana air pencuci, penyuci, dan penghapus dosa. Meniatkannya sebagai kafarat wajib untuk diterapkan dan dikerapkan. O, sekarang saya mafhum kenapa saya disuruh pergi.
"Pergi" dalam sekejap mampu mengubah cara pandang dan merombak pondasi pengetahuan yang saya susun dalam memaknai Ramadhan. Saya harus berhati-hati, pahala bisa berubah menjadi berhala.
Guruku, pada suatu waktu yang lain, pernah berkata bahwa menjadi kaya adalah fardhu ain, wajib hukumnya. Orang-orang miskin di luar sana, imannya telah jatuh. Untuk menyelamatkan mereka, kita butuh harta yang banyak. Urusan fiqh, tauhid, tasawwuf, atau filsafat tidak mungkin terlintas di kepala mereka yang lapar. Aqidah akan segera tergadai jika perut terus menerus kosong. Saya tanam dalam-dalam pesan ini di ingatan saya yang rajin lupa.
Dan, setelah meluruskan niat, saya putuskan keluar dari kamar.
***
Satu
masalah selesai, meski masih ada kegelisahan lain. Saya sedikit merasa
terusik dengan suara-suara sumbang di belakang, dan hal itu susah untuk
saya pedulisetan-kan. Pilihan-pilihan hidup yang saya jalani kadang
terdengar klise, bahkan lebay di telinga orang lain. Termasuk perihal
memilih mau bekerja atau beribadah. Yang ini bahkan mendapat bonus
hadiah cibiran.
Pada akhirnya, saya berusaha maklum dan belajar
berdamai dengan keadaan, toh karena setiap orang punya tafsir
masing-masing dalam menangkap, memahami dan menjalani perintah Tuhan.
Sekarang, yang harus saya lakukan hanya satu, pergi. []
***
Happy Fasting, Folks. Tetap bekerja, dan menjadilah kaya!
Jakarta - Kuala Lumpur - Terengganu, Juli 2013