KAMIS malam kami mengunjungi salah seorang kerabat yang sedang sakit. Jalanan macet, namun kami mafhum mengingat besok adalah hari libur dan orang-orang menyambut long week-end dengan pulang kampung. Bayangkan, hampir seluruh kelas pekerja Jakarta yang berasal dari pulau Jawa tumpah di jalanan, berkendara sendiri atau beramai-ramai menyemuti jalan tol, menghampiri terminal dan stasiun. Selalu begitu, setiap ada jatah pakansi, tanggal merah yang jatuh di hari Jum’at atau Senin.
Aku heran, bahkan di Balai Pustaka Timur, jalan kecil di bilangan Rawamangun mobil-mobil tidak bergerak. Setelah sejenak memperhatikan, aku baru sadar kalau ternyata semuanya berbaris dalam keadaan mesin mati. Mobil terparkir memenuhi satu lajur badan jalan, panjang, dari ujung ke ujung. Rumah sakit yang kami tuju tepat berdampingan dengan Gereja Paroki. Mobil-mobil tadi milik jemaat Misa Kamis Putih.
Di dalam mobil kami berempat. Semuanya mengenakan kopiah, tiga di antaranya berbaju putih, aku yang tidak. Mobil berjalan merayap setelah arah putaran balik, tampak banyak sekali polisi berjaga di sekitar gereja. Malam-malam begini memang rawan, mengingat kejadian-kejadian silam banyak oknum anti kebhinekaan dan penganut paham kebencian menunggu momen seperti ini. Di jok belakang, aku dan salah seorang teman saling menatap dan mencoba menahan senyum, apa yang terlintas di pikiran kami sama, sembari perlahan ia melepaskan kopiahnya. Bayangkan betapa gelisahnya jika mereka yang sedang beribadah menyaksikan ada empat orang mengenakan pakaian yang sama dengan orang yang biasa meledakkan rumah ibadah mereka.
Setelah menunaikan hajat, kami pulang. Arah keluar parkiran rumah sakit berada di sisi belakang gereja. Guru kami, yang mengajak kami malam itu, berkata, “Lepaskan peci kalian, kita tidak mau mereka berprasangka buruk terhadap kita.”
***
Hampir setiap malam kami keluar berkeliling, mengunjungi orang sakit, melayat (kalau ada) yang meninggal, atau membagi-bagikan beras serta sadaqah kepada orang miskin. Hampir semua rumah sakit di Jakarta pernah kami singgahi. Kalau si sakit adalah orang susah, pastilah diberi uang, atau bahkan seluruh biaya rumah sakitnya ditanggung, berapa pun. Kalau keluar malam macam ini, kadang aku menyengaja bersarung, memakai baju koko serta kopiah. Aku sadar betul perihal simbol. Kejadian di depan gereja semakin memahamkan aku bahwa betapa manusia tak bisa melepaskan diri dari simbol. Dan memang begitulah adanya kerja alam pikiran, melekatkan identitas dengan simbol yang menjadi variabelnya.
Sering kali dalam perjalanan kami berpapasan dengan penjaja dagangan yang sebenarnya mempunyai peluang sangat kecil untuk mendapatkan pembeli. Di jalanan Jakarta, akan mudah ditemui orang-orang yang memikul lemari, kusen, kasur-bantal atau dipan bambu untuk dijual. Siapa yang mau membeli barang-barang seperti itu? Kasihan sekali. Tapi orang-orang seperti ini tidak pernah berputus asa dari rahmat Tuhan. Mereka berjuang mencari rezeki yang halal, dan perjuangannya itu patut dihargai. Aku pernah bertemu dengan penjual yang memikul lemari dagangannya sampai-sampai meninggalkan ceruk bekas luka yang mengering menghitam di kedua tulang bahunya. Kami selalu diingatkan agar menghargai orang-orang yang mencari makan dengan memilih jalan untuk tidak mencuri. Jika kebetulan bertemu model macam ini, mobil akan ditepikan, aku diperintahkan turun dari mobil, mencari warteg, kemudian mengejar para pedagang-pedagang tadi untuk memberinya makan dan minum. Meski hanya sebungkus. Ini berlaku juga jika bertemu orang gila. Yang terakhir ini bahkan mendapat prioritas lebih. Kalau suatu saat kau melihat di jalanan ada orang bersarung berkopiah berlari menenteng sebungkus makanan mengejar-ngejar pedagang atau orang gila, tegur saja, besar kemungkinan itu aku. Kalau malu menegur langsung, boleh lewat mention, sekalian follow, nanti aku folbek.
Dalam dunia bisnis, ada yang disebut sebagai Brand Awareness. Aku mencoba menganalogikannya dengan menjadikan Islam sebagai sebuah produk. Aku, kau, atau siapapun yang mengaku sebagai pemeluknya adalah bagian dari divisi marketing. Kita membawa diri beserta simbol-simbol, baik yang terlihat maupun yang tak tampak, yang melekat pada diri kita adalah dalam rangka "memasarkan" Islam. Dalam piramida kesadaran merek, kegiatan tadi berada pada level Brand Recognition, membangun kesadaran melalui pengenalan “produk” lewat simbol lahiriah peci dan kain sarung serta simbol batiniahnya dalam bentuk kegiatan sosial. Di tengah zaman yang sudah gila seperti ini, kebaikan harus dipertontonkan. But sometimes, dalam berbuat baik identitas harus dilepaskan. Ketika kami sampai di rumah sakit, sementara yang lainnya langsung menjenguk pasien, aku keluar mencari ATM. Aku sengaja melepaskan kopiah karena tidak mau membuat orang-orang menjadi risih melihat “Islam” berkeliaran di sekitar perayaan misa. Aku melepaskan simbol karena aku sadar pakaian yang aku kenakan mewakili sebuah kelompok.
Imam ‘Ali berkata bahwa masyarakat itu terdiri dari dua golongan, mereka adalah saudara seagama atau saudara sebagai sesama manusia.
Islam adalah rahmat bagi siapa pun, termasuk bagi orang yang berada di luarnya. []
***
Happy (belated) Easter.